• SD ST. FRANSISKUS III KAYU PUTIH
  • Cinta Allah Yang Penuh Kerahiman, Cerdas, Jujur, Toleransi, Disiplin

CINTA TANPA SEKAT

CINTA TANPA SEKAT. Ketika kita membaca judul ini, mungkin terbersit dalam benak kita apa maksud dan tujuannya. Lalu mengapa juga harus menulis judul ini. Bagi saya, judul ini sangat relevan untuk menggambarkan kondisi kehidupan sosial dewasa ini. Bahwasannya, kita lahir dari beragam suku, agama, ras, golongan dan latar belakang yang yang berbeda. Perbedaan itu memang sangat indah, tapi terkadang kita terbentur karena perbedaan itu. Terbentur karena persepsi yang keliru tentang suatu budaya, terbentur karena agama atau keyakinan, rasisme, dan pengaruh penggunaan media sosial. Hal-hal semacam ini sering kita jumpai dan mungkin juga kita alami dalam hidup kita. Semangat persaudaraan dan kekeluargaan sudah mulai surut dan mungkin suatu saat akan sirna. Namun, kita bersyukur Bangsa Indonesia memiliki dasar negara yang kuat yaitu PANCASILA dan semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA (berbeda-beda tetapi tetap satu). Dasar negara Pancasila atau Bhineka Tunggal Ika lahir dari permenungan yang mendalam dari para pemikir dan pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Permenungan akan melahirkan sebuah sikap atau tindakan nyata akan cinta terhadap tanah air. 

Benturan-benturan yang terjadi terkadang juga muncul karena perbedaan kepentingan dan perbedaan persepsi akan suatu hal. Saya pikir cinta tanpa sekat bisa menjawab segala problematika yang ada. Dalam cinta kita belajar menghargai. Dalam cinta juga kita bisa menerima perbedaan satu dengan yang lainnya, menerima segala kekurangan dan kelebihannya. Plato merumuskannya dengan begitu baik bahwa manusia terbaik adalah mereka yang mencintai kebijaksanaan. Cinta harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Sementara sekat berarti ada batas, ada tembok pemisah. Cinta tanpa sekat berarti kita mencintai tanpa batas kepada siapapun dan apapun yang ada.  Kita bisa belajar dari seorang tokoh Gereja Katolik yang mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan lebih besar. Meninggalkan kenikmatan duniawi dan memilih hidup sederhana. Sosok yang kita banggakan itu adalah Santo Fransiskus Asisi, yang dijadikan oleh beberapa sekolah, gereja atau kongregasi sebagai santo pelindungnya. Kita bisa mengambil salah satu nilai yang sangat penting dalam hidupnya yaitu nilai fraternitas (persaudaraan sejati) atau yang mungkin sering kita dengar dengan doa perdamaian.   

Pengalaman hidup Santo Fransiskus Asisi dapat dijadikan sebagai pedoman hidup bagi sebagian orang. Muder Anselma, Pendiri Kongregasi FSGM (Fransiskan Santo Georgius Martir) mengikuti jejak hidup Santo Fransiskus. Muder Anselma memilih jalan hidup dengan mengasingkan diri, hidup dengan kesederhanaan, menjalankan kehidupannya dengan gembira, setia kepada jalan hidup yang dipilih dengan doa. Kesetiaan Muder Anselma dalam doa mau menunjukkan bahwa hidupnya bersumber dari cinta kasih Allah. Cinta Muder Anselma pun adalah cinta tanpa batas yang bersumber dari Cinta Kasih Allah Yang Penuh Kerahiman. Warisan Muder Anselma ini menjadi spirit hidup bagi para Suster FSGM. Spiritualitas FSGM bersumber dari semangat hidup Muder Anselma. Trilogi Muder Anselma yaitu Cinta akan kemiskinan, gembira dalam berkarya, setia dalam doa. 

Cinta tanpa batas dan gembira dalam berkarya warisan Muder Anselma menjadi spirit pelayanan dan karya para Suster FSGM, baik dalam bidang pindidikan, kesehatan maupun dalam bidang sosial. Saya mungkin hanya bisa mendeskripsikannya dari sisi bidang pendidikan, kebetulan saya bekerja sebagai guru di SD Santo Fransiskus III. Sebagai guru, tentu spirit ini harus dijalankan dan diamalkan. Kita tidak boleh membedakan anak-anak dalam proses pendampingan dan pembejalaran di sekolah. Cinta kita harus tulus kepada mereka. Mereka generasi masa depan bangsa, yang harus kita didik dan kita bina karakternya agar menjadi manusia yang berguna untuk masa depan gereja dan tanah air. Gembira berarti kita menerima mereka dengan segala keunikannya masing-masing dengan sikap berjiwa besar seperti yang diwariskan oleh Santo Fransiskus Asisi. Mari kita selalu gembira dalam karya pelayanan kita.

By : Admin

Refleksi Pembinaan Guru dan Karyawan Yayasan Dwi Bakti Jakarta ( 30-31 Mei 2024)  

Komentar

Saya setuju dengan refleksi di tulisan ini, bahwa cinta itu tanpa sekat. Karena dengan menghilangkan sekat-sekat yang ada, kita bisa mengasihi sesama dengan tulus, tanpa memandang keberadaan sesama yang kita cintai dan kasihi.

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
Berani Bermimpi

Suatu ketika hiduplah seorang anak laki-laki di sebuah desa terpencil. Nama anak itu Joko. Dia lahir dari orang tua yang sangat miskin atau serba tidak berkecukupan. Rumah mereka berdin

11/04/2022 10:43 WIB - Administrator